27 Jul 2013

สักวันหนึ่ง

14 Jul 2013

Solat tarawih.

Solat tarawih berjamaah Bid'ah hasanah 

pindi berkata :

Setahu saya kaum Sunni atau kaum wahabi lah yang memaksa orang beribadah dan percaya seperti mareka . buktinya, kalau ada orang ingkar yang tidak percaya sebagaimana mareka percaya dan tidak beribadah sebagaimana yang mareka beribadah itu, lalu mareka menghukum kafir dan sesat. Jadi saolah-olah mareka lah Tuhan yang sebenarya . Dan marekalah yang mengaku bahwa mareka lah  yang kuat percaya kepada Al-Quran, sedangkan Al-Quran yang sangat mareka percaya itu, melarang keras kepada mareka supaya mareka jangan memaksa orang lain percaya dan beribadah seperti mareka itu :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
10:99 Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

pindi berkata :


Agustus 31, 2008 oleh Islam Syiah 

Jadi jelas sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ‘ibadah’ yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah. Dan berdasarkan hadis terkenal Rasul; “Setiap bid’ah adalah sesat” (kullu bid’ah dhalalah) maka tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah menjadi baik dan buruk/sesat. 

———————————————————————-

Shalat Tarawih Berjamaah adalah Bid’ah

Allah SWT berfirmah kepada Rasulullah SAWW:

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Aali Imran: 31)

33:21. Kamu ada satu teladan yang baik pada rasul Allah bagi sesiapa yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan mengingati Allah dengan banyak.



Dan perintah Allah kepada umat Muhammad:

“…apa yang diberikan Rasul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS Al-Hasyr: 7)

Dan firman Allah:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata” (QS Al-Ahzab: 36)


Semua pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah SAWW pasti meyakini bahwa bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah. Bahkan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa berkumpul dengan pelaku bid’ahpun dilarang, apalagi melakukan bid’ah. Hal itu karena imbas dari ajaran Islam yang mengajarkan ajaran tauhid, termasuk tauhid dalam penentuan hukum agama. Jangankan manusia biasa, Rasulullah pun dilarang untuk membikin-bikin hukum agama. Beliau hanya berhak menyampaikan hukum Allah saja, tanpa diperkenankan untuk menambahi maupun menguranginya. Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak preogatif Tuhan belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu. 

Pada kesempatan kali ini, kita akan menegok kembali hukum ‘Shalat Tarawih’ di bulan suci Ramadhan yang seringnya dilakukan secara berjamaah oleh kebanyakan kaum muslimin, tidak terkecuali di Indonesia. Apakah Rasul pernah mencontohkannya ataukah tidak? Siapa pertama kali yang mempolopori pelaksanaan shalat tarawih berjamaah, dan dengan alasan apa? Jika Rasul tidak pernah mencontohkannya –bahkan memerintahkan untuk shalat sendiri-sendiri- maka pelaksanaannya secara berjamaah apakah tidak termasuk kategori bid’ah, sedang Rasul dalam hadisnya perbah bersabda: “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi ‘baik’ (hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?

Kita akan mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’ sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut? 

Kini kita lihat pengakuan beberapa ulama Ahlusunnah tentang hakekat hukum shalat tarawih berjamaah itu sendiri. Di sini kita akan mengambil beberapa contoh dari pribadi-pribadi tersebut. Al-Qosthalani dalam mensyarahi ungkapan Umar (“Ini adalah sebaik-baik bid’ah”) dalam kitab Shahih Bukhari tadi mengatakan: “Ia mengakui bahwa itu adalah bid’ah karena Rasul tidak pernah memrintahkanya sehingga shalat sunah di malam Ramadhan harus dilakukan secara berjamaah. Pada zaman Abu Bakar pun tidak pernah ada hal semacam itu. Begitu pula tidak pernah ada pada malam pertama Ramadhan (di malam hari keluarnya perintah Umar tadi. red). Juga dalam kaitannya dengan jumlah rakaat (shalat tarawih) yang tidak memiliki asal” (Irsyad as-Sari jilid 5 halaman 4). Ungkapan dan penjelasan semacam ini juga dapat kita temukan dalam kitab Fathul Bari, Umdah al-Qori dan beberapa kitab lain yang dikarya untuk mensyarahi Shahih Bukhari. As-Suyuthi dalam kitab “Tarikh al-Khulafa’” menjelaskan bahwa, pertama kali yang memerintahkan untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah adalah Umar bin Khatab. Ini pula yang diungkapkan oleh Abu Walid Muhammad bin Syuhnah dalam mengisahkan kejadian tahun 23 H. Sebagaimana juga diakui oleh Muhammad bin Saad sebagaimana yang tercantum dalam jilid ketiga kitab “at-Tabaqoot” sewaktu menyebut nama Umar bin Khatab. Juga yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab “al-Isti’ab” sewaktu mensyarahi pribadi Umar bin Khatab. Jadi jelas sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ibadah yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah. 

Sementara, dalam hadis-hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah dengan keras melarang umatnya untuk melakukan shalat sunah secara berjamaah. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasul pernah bersabda: “Hendaknya atas kalian untuk melakukan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah yang dilakukan di rumah, kecuali shalat fardhu (wajib)” (Shohih Muslim dengan Syarh Imam Nawawi jilid 6 halaman 39, atau pada kitab Fathul Bari jilid 4 halaman 252). 

Dengan menggabungkan empat argumen di atas tadi –(1) perintah mengikuti Rasul sehingga mendapat ridho Allah, (2) larangan melakukan bid’ah, (3) shalat tarawih tidak dicontohkan Rasul yang mensicayakan bid’ah dalam peribadatan dan (4) perintah Rasul untuk melakukan shalat sunah di rumah, secara sendiri-sendiri- maka banyak dari ulama Ahlusunnah sendiri yang mereka melakukan shalat tarawih di rumah masing-masing, tidak berjamaah di masjid ataupun mushalla. Malah dalam kitab “al-Mushannaf” disebutkan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa; “Ibnu Umar tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah”. Dan dalam kitab yang sama, Mujahid mengatakan: “Pernah seseorang datang kepada Ibnu Umar dan bertanya: “Pada bulan Ramadhan, apakah shalat tarawih kita lakukan dengan berjamaah?” Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu bisa membaca al-Quran?” Ia (penanya tadi) menjawab: “Ya!?” lantas Ibnu Umar berkata: Lakukan shalat tarawih di rumah!” (Al-Mushannaf jilid 5 halaman 264 hadis ke-7742 dan ke-7743).

Namun, sebagian dari ikhwan Ahlsunnah mengelak bahwa itu (tarawih berjamaah) adalah bid’ah berargumen dengan beberapa dalil. Di sini kita akan sebutkan sandaran mereka dengan kritisi ringkas atas dalil yang mereka kemukakan.

Ada dua hadis yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan;

1- Ummul Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343)

Menjadikan hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengaakan bahwa tarawih adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas.

2- Ibn Wahab menukil dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa, suatu saat Rasul memasuki masjid. Belioau melihat para sahabat di beberapa tempat sedang sibuk melaksanakan shalat. Beliau bertanya: “Shalat apa yang mereka lakukan?”. Dijawab: “Sekelompok sedang melakukan shalat dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab”. Rasul lantas bersabda: “Apa yang mereka lakukan benar dan mereka telah melakukan kebaikan.” (Fathul Bari jilid 4 halaman 252). 

Menjadikan hadis ini sebagai pembenar pelaksanaan shalat tarawih berjamaah pun tidak benar, karena dalam teks hadis jelas tidak dinyatakan shalat apakah yang sedang mereka laksanakan, shalat tarawihkah ataukah shalat fardhu (shalat wajib). Selain itu, Ibnu Hajar sendiri (penulis kitab “Fathul Bari” tadi) setelah menukil hadis tersebut menyatakan kelemahan hadis tersebut dari dua sisi; pertama: Terdapat pribadi yang bernama Muslim bin Khalid yang lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Kedua: Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasul yang mengumpulkan orang-orang agar shalat di belakang Ubay bin Ka’ab, padahal yang terkenal (ma’ruf) adalah sahabat Umar-lah yang mengumpulkan orang-orang untuk shalat bersama Ubay bin Ka’ab. 

Dari sini jelaslah bahwa, pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat umar-lah yang mempelopori ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat, sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik. 

Semoga dalam bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengamalkan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk menjauhi segala macam jenis bid’ah seperti melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena bagaimana mungkin kita akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT namun jalan dan sarana yang kita tempuh adalah melalui perbuatan yang dibenci oleh Allah, seperti bid’ah. Mustahil sesuatu yang menjauhkan dari Allah (seperti Bid’ah) akan dapat mendekatkan kepada-Nya (masuk kategori ibadah). Ini adalah dua hal kontradiktif yang mustahil terjadi. Semoga dengan menjauhi semua bid’ah kita dapat meninggalkan bulan Ramadhan dengan kembali ke fitrah yang suci, melalui Iedul Fitri. Amin



Pak Ustadz yang dirahmati Allah,
Beberapa hari belakangan ini milis kami yang beranggotakan para pekerja di Qatar tengah mendiskusikan masalah shalat tarawih berjamaah. Sebatas yang kami ketahui, shalat tarawih berjamaah hanya dilakukan Rasulullah selama 3 hari dan akhirnya dihentikan oleh beliau dengan alasan kuatir dijadikannya shalat tersebut menjadi fardhu.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, shalat tarawih ini didirikan lagi oleh beliau. Dan beliau mengatakan, "Inilah sebaik-baiknya bid''ah..."
Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Berapa lama kurun waktu mulai dari dihentikannya shalat tarawih berjamaah oleh Rasulullah hingga "dihidupkannya" lagi oleh Umar r.a.?
2. Apakah dalam kurun waktu tersebut, para sahabat mengerjakan shalat tarawih di rumah masing-masing?
3. Mulai kapan shalat tarawih berjamaah dilakukan oleh para pengikut Rasulullah. Maksud saya, yang saya ketahui, Khalifah Umar r.a. berinisiatif membangun lagi "tradisi" sebelumnya didasarkan pada pengamatan beliau yang melihat banyaknya jamaah-jamaah kecil dalam bertarawih.
4. Apakah para pengikut Nabi Muhammad SAW yang mendirikan kembali shalat tarawih berjamaah dalam kelompok kecil (sebelum dimaklumatkan oleh Umar r.a) tersebut bisa dikategorikan sebagai pembangkangan atas sunnah Nabi? Karena saya yakin, Rasulullah lebih tahu banyak akan hal itu dibanding para sahabat dan pengikut-pengikutnya. Kalau memang itu baik di mata Nabi, pasti Nabi akan melakukannya. Dan hingga sampai akhir hayatnya, berlanjut pada masa pemerintahan Khalifa Abu Bakar r.a (yang paling dekat dengan Nabi), shalat tarawih tidak dilakukan secara berjamaah.
Mohon maaf Ustadz terlalu panjang dan banyak pertanyaannya.
Afwan wa syukron,
jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Memang seringkali kita mendapatkan orang-orang berbeda pendapat tentang hukum shalat tarawih, baik dalam masalah pelaksanaannya yang berjamaah atau sendirian, juga termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.
Namun barangkali apa yang dikemukakan oleh jumhur ulama lebih dekat kepada kebenaran, meski bukan berarti harus pasti benarnya.
Umumnya para fuqaha fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih itu disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah. Dasarnya adalah karena dahulu memang dilakukan dengan berjamaah di masa nabi SAW. Dan bahkan salah satu penyebab mengapa kemudian nabi SAW tidak berjamaah lagi di masjid, justru karena peserta shalat tarawih di masa nabi membeludak.
Maka kesimpulan yang pertama, bahwa shalat tarawih di masa nabi pernah dilakukan dengan berjamaah.
Kemudian nabi SAW tidak lagi melakukan shalat tarawih berjamaah, dengan alasan takut kalau-kalau nantinya diwajibkan. Setelah itu sampai akhir hayatnya, Rasulullah SAW tidak tarawih berjamaah bersama dengan kaum muslimin.
Kesimpulan yang kedua, ketidak-berjamaahan nabi SAW di masa lalu ada sebabnya, yaitu karena takut akan diwajibkan oleh Allah SWT. Seadainya ketakutan itu sudah tidak ada lagi, maka tentu shalat tarawih berjamaah berlangsung kembali.
Kemudian, ketika beliau SAW wafat, kaum muslim memang tidak langsung mengadakan shalat tarawih berjamaah. Tarawih berjamaah baru berlangsug kembali di masa khilafah Umar bin Al-Khattab ra.
Analisanya adalah bahwa masa khilafah Abu Bakar tidak berlangsung lama. Praktis hanya 2 tahun saja beliau memerintah. Sementara kaum muslimin saat itu sedang mengalami berbagai fitnah dan cobaan. Misalnya kasus murtadnya berbagai dari suku-suku arab. Sementara itu kaum muslimin saat itu sedang menghadapi peperangan besar melawan Romawi. Tentu mereka sibuk mempersiapkan peperangan besar.
Namun bukan berarti tidak ada pembenahan internal di masa itu. Paling tidak, sejarah mencatat bahwa di masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, mushaf Al-Quran berhasil dijilid jadi satu. Setelah selama ini berserakan di berbagai media, meski masih dihafal oleh ribuan shahabat.
Dua tahun berselang, tibalah masa Umar bin Al-Khattab ra. memerintah. Masa beliau memerintah cukup panjang, ada banyak waktu untuk menaklukkan para pembangkang, bahkan tiga imperium besar berhasil ditaklukkan. Maka ada banyak kesempatan bagi khalifah untuk melakukan beberapa pembenahan. Termasuk menghidupkan kembali sunnah nabi SAW dalam melakukan shalat tarawih dengan berjamaah, setelah beberapa tahun sempat tidak berjalan karena berbagai alasan.
Di masa nabi, tidak berlangsungnya shalat tarawih berjmaaah karena alasan takut diwajibkan. Di masa Abu Bakar, alasannya karena ada banyak pe-er mendesak dan itupun hanya 2 tahun saja. Maka kesempatan yang agak luas baru didapat di masa khalifah Umar ra. Di masa itulah khalifah menghidupkan kembali sunnah Rasulullah SAW, yaitu shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu orang imam. Ubay bin Ka''ab ditunjuk oleh khalifah karena bacaan beliau sangat baik.
Apa yang dilakukan oleh khalifah Umar ra, 100% disetujui oleh semua shahabat. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa ada satu shahabat yang menentang diserukannya kembali shalat tarawih berjamaah sebagaimana dahulu pernah dilakukan oleh nabi SAW. Maka boleh dibilang bahwa shalat tarawih dengan berjamaah merupakan ijma'' para shahabat. Dan ijma'' merupakan salah satu sumber syariah yang disepakati.
Dan sejak hari itu hingga 15 abad kemudian, shalat tarawih berjamaah terus berlangsung tiap malam Ramadhan di masjid Nabawi Madinah, dan juga di semua masjid yang ada di muka bumi. Seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat atas masyru''iyah shalat tarawih berjamaah di belakang satu imam, karena seperti itulah yang awal mula dikerjakan oleh nabi SAW.
Tidak berlangsungnya shalat tarawih berjamaah karena ada alasan yang bersifat temporal. Begitu alasannya sudah tidak ada lagi, maka sunnahnya dikembalikan lagi sebagaimana aslinya. Tidak ada kaitannya tentang berapa lama jamaah tarawih tidak berlangsung.
Dalam hal ini, tidak berjamaahnya nabi SAW dalam shalat tarawih bukan bersifat menasakh hukum kesunnahan tarawih berjamaah. Tetapi memberi dasar hukum kebolehan shalat tarawih dilakukan tidak berjamaah karena adanya alasan tertentu. Ketika alasan (udzur) itu sudah tidak ada lagi, maka kesunnahannya dikembalikan kepada asalnya.
Demikian kira-kita argumentasi jumhur ulama dan fuqaha di bidang ilmu fiqih.
Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Oleh W. Kassim
Kita lihat dalam sepanjang bulan Ramadan orang membanjiri masjid kerana bersolat Tarawih. Marilah kita lihat hadis yang paling sahih dikalangan orang Ahlusunnah untuk mengetahui samada amalan makin popular ini adalah sunnah atau perintah dari Nabi.
SAHIH BUKHARI
Jilid: 8
No: 134
Dirawayatkan oleh Zaid bin Thabit
Rasulullah membuat sebuah bilik kecil (dengan tikar yang dibuat dari daun palma). Rasulullah keluar (dari rumahnya) dan bersolat di dalam bilik kecil itu. Beberapa orang lelaki turut bersolat bersama-sama beliau. Malam keesokannya mereka datang lagi untuk bersolat, tetapi Rasulullah tidak keluar. Oleh itu mereka berteriak-teriak dan mengetuk pintu rumah Rasulullah dengan batu. Rasulullah keluar kepada mereka dalam keadaan marah dan berkata: "Kamu mahu menggesa (Tarawih itu di dalam masjid) dan aku bimbang kalau solat (Tarawih) akan menjadi wajib keatas kamu. Maka kamu semua lakukanlah solat ini dirumahmu, kerana solat yang lebih baik bagi seseorang itu ialah yang dilakukan dirumahnya, kecuali solat wajib Jumaah."
Mengikut hadis ini, Nabi sendiri tidak suka ke masjid untuk solat Tarawih. Untuk mengelak dari pergi ke masjid, beliau telah membuat bilik kecil berdindingkan tikar yang diperbuat dari daun palma di luar rumahnya. Namun demikian, orang yang ternampak beliau bersolat Tarawih telah mengikut bersama.
Pada malam kedua Nabi tidak keluar dari rumahnya dan orang berteriak-triak serta mengetuk pintu rumahnya dengan batu. (Adakah ini caranya mereka menunjukkan kejengkelan mereka kerana Nabi tidak ke masjid bersolat Tarawih?) Maka Nabi keluar dengan marah lalu memerintahkan mereka supaya tidak bersolat Tarawih di masjid, tetapi melakukannya di rumah masing-masing.
Nampaknya orang Ahlusunnah bukan sahaja kelihatan menentang Quran, tetapi mereka juga kelihatan menentang perintah Nabi yang terdapat di dalam hadis kuat Sahih Bukhari.
Hari ini sejarah berualang kembali. Golongan yang sama, juga jengkel terhadap orang yang tidak turut bersama mereka, menentang perintah Nabi.
Untuk meramaikan lagi kumpulan penentang ini, MOREI diadakan sebagai tarikan.

pindi berkata lagi

Menurut Bukhari berkata , Umar berkata sholat terawih berjemaah di masjid itu bid’ah terbaik 

Jadi nabi sholat terawih berjamaah di masjid itu adalah bid’ah terbaik menurut saidina umar ..

jadi nabi sendiri pun membuat bid'ah juga walau pun bid'ah terbaik .
bingong neh

Muslim berkata , Nabi bersebda  “Setiap bid’ah adalah sesat dan tiap sesat adalah neraka

Menurut hadis muslim ini  , bid’ah itu hanya ada satu yaitu bid’ah sesat , dan tidak ada bid’ah terbaik 

Menurut apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Menurut Bukhari pula berkata , Umar berkata sholat terawih berjemaah di masjid itu bid’ah terbaik 

ini berarti Nabi tidak tahu bahwa solat terawih berjamaah itu “bid’ah terbaik”karena nabi hanya tahu bahwa bid'ah itu adalah sesat belaka ..  menurut muslim 

Menurut Allah SWT berfirmah kepada Rasulullah SAWW:
3:31 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku....” 

Dalam ayat ini tuhan tidak  sebut “dan ikutlah shahabatku” ....

33:21. Kamu ada satu teladan yang baik pada rasul Allah bagi sesiapa yang mengharapkan Allah dan Hari Akhir, dan mengingati Allah dengan banyak.

Dan Dalam ayat ini tuhan tidak  juga sebut “dan pada para khalifah rasulullah” 

menurut Turmizi berkata, Nabi bersebda ..maka handaklah kamu berpegang dengan sunnahku dan sunah para khalifah rasyidin .. 

Mana yang betul ? 
atau tuhan berfirman dalam qurannya belum sempurna kalau tidak ikut kata2 Bukhari , Muslim , Turmizi di dalam kitab2 Hadis karangan mareka ? 

atau kitat2 Hadis karangan mareka ini termasuk kitab2 suci juga seperti quran  
ajaran islam  yang beginilah yang sangat membingungkan saya …


kurnie17 berkata :

memangnya ada tema bid'ah dalam al-quran, bukannya ada di hadist doang ?


Gibor berkata : 

saya sih berpendapat shalat tarawih sah2 saja, asal jangan dikatakan Wajib dari Allah, Sunni pun juga berpendapat sama dengan saya, jadi yaaa mau shalat ya monggo, enggak ya ga usah


RanggaMarshall berkata :

setuju,, biarpun orang bertapa dalam gua-sekalipun silahkan saja,, yang penting jangan memaksakan kehendak.. :)


pindi berkata :

Setahu saya kaum Sunni atau kaum wahabi lah yang memaksa orang beribadah dan percaya seperti mareka . buktinya, kalau ada orang ingkar yang tidak percaya sebagaimana mareka percaya dan tidak beribadah sebagaimana yang mareka beribadah itu, lalu mareka menghukum kafir dan sesat. Jadi saolah-olah mareka lah Tuhan yang sebenarya . Dan marekalah yang mengaku bahwa mareka lah  yang kuat percaya kepada Al-Quran, sedangkan Al-Quran yang sangat mareka percaya itu, melarang keras kepada mareka supaya mareka jangan memaksa orang lain percaya dan beribadah seperti mareka itu :

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
10:99 Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
********